6.24.2015

Green Architecture, Green Plan & Green City

Green Architecture
green-architecture-is-smart-architecture-03-960x680
1.Pengertian.
Konsep ‘green architecture’ atau arsitektur hijau menjadi topik yang menarik saat ini, salah satunya karena kebutuhan untuk memberdayakan potensi site dan menghemat sumber daya alam akibat menipisnya sumber energi tak terbarukan. Berbagai pemikiran dan interpretasi arsitek bermunculuan secara berbeda-beda, yang masing-masing diakibatkan oleh persinggungan dengan kondisi profesi yang mereka hadapi. Green arsitektur ialah”sebuah konsep arsitektur yang berusaha meminimalkan pengaruh buruk terhadap lingkungan alam maupun manusia dan menghasilkan tempat hidup yang lebih baik dan lebih sehat, yang dilakukan dengan cara memanfaatkan sumber energi dan sumber daya alam secara efisien dan optimal. Konsep arsitektur ini lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan, memiliki tingkat keselarasan yang tinggi antara strukturnya dengan lingkungan, dan penggunaan sistem utilitas yang sangat baik. Green architecture dipercaya sebagai desain yang baik dan bertanggung jawab, dan diharapkan digunakan di masa kini dan masa yang akan datang.
Dalam jangka panjang, biaya lingkungan sama dengan biaya sosial, manfaat lingkungan sama juga dengan manfaat sosial. Persoalan energi dan lingkungan merupakan kepentingan profesional bagi arsitek yang sasarannya adalah untuk meningkatkan kualitas hidup.
2.Prinsip – prinsip pada green architecture
PRINSIP-PRINSIP GREEN ARCHITECTURE :
  1. Hemat energi / Conserving energy : Pengoperasian bangunan harus meminimalkan penggunaan bahan bakar atau energi listrik ( sebisa mungkin memaksimalkan energi alam sekitar lokasi bangunan ).
  2. Memperhatikan kondisi iklim / Working with climate : Mendisain bagunan harus berdasarkan iklim yang berlaku di lokasi tapak kita, dan sumber energi yang ada.
  3. Minimizing new resources : mendisain dengan mengoptimalkan kebutuhan sumberdaya alam yang baru, agar sumberdaya tersebut tidak habis dan dapat digunakan di masa mendatang /
    Penggunaan material bangunan yang tidak berbahaya bagi ekosistem dan sumber daya alam.
  4. Tidak berdampak negative bagi kesehatan dan kenyamanan penghuni bangunan tersebut / Respect for site : Bangunan yang akan dibangun, nantinya jangan sampai merusak kondisi tapak aslinya, sehingga jika nanti bangunan itu sudah tidak terpakai, tapak aslinya masih ada dan tidak berubah.( tidak merusak lingkungan yang ada ).
  5. Merespon  keadaan tapak dari bangunan / Respect for user : Dalam merancang bangunan harus memperhatikan semua pengguna bangunan dan memenuhi semua kebutuhannya.
  6. Menetapkan seluruh prinsip – prinsip green architecture secara keseluruhan / Holism : Ketentuan diatas tidak baku, artinya dapat kita pergunakan sesuai kebutuhan bangunan kita.
3.Sifat – sifat pada bangunan berkonsep green architecture.
shades-of-green-tennessee
Green architecture (arsitekture hijau) mulai tumbuh sejalan dengan kesadaran dari para arsitek akan keterbatasan alam dalam menyuplai material yang mulai menipis.Alasan lain digunakannya arsitektur hijau adalah untuk memaksimalkan potensi site.
Penggunaan material-material yang bisa didaur-ulang juga mendukung konsep arsitektur hijau, sehingga penggunaan material dapat dihemat.
Green’ dapat diinterpretasikan sebagai sustainable (berkelanjutan), earthfriendly (ramah lingkungan), dan high performance building (bangunan dengan performa sangat baik).
A.Sustainable ( Berkelanjutan ).
Yang berarti bangunan green architecture tetap bertahan dan berfungsi seiring zaman, konsisten terhadap konsepnya yang menyatu dengan alam tanpa adanya perubahan – perubuhan yang signifikan tanpa merusak alam sekitar.
  1. Earthfriendly ( Ramah lingkungan ).
Suatu bangunan belum bisa dianggap sebagai bangunan berkonsep green architecture apabila bangunan tersebut tidak bersifat ramah lingkungan. Maksud tidak bersifat ramah terhadap lingkungan disini tidak hanya dalam perusakkan terhadap lingkungan. Tetapi juga menyangkut masalah pemakaian energi.Oleh karena itu bangunan berkonsep green architecture mempunyai sifat ramah terhadap lingkungan sekitar, energi dan aspek – aspek pendukung lainnya.
  1. High performance building.
Bangunan berkonsep green architecture mempunyai satu sifat yang tidak kalah pentingnya dengan sifat – sifat lainnya. Sifat ini adalah “High performance building”. Mengapa pada bangunan green architecture harus mempunyai sifat ini?. Salah satu fungsinya ialah untuk meminimaliskan penggunaan energi dengan memenfaatkan energi yang berasal dari alam ( Enrgy of nature ) dan dengan dipadukan dengan teknologi tinggi ( High technology performance ). Contohnya :
1).      Penggunaan panel surya ( Solar cell ) untuk memanfaatkan energi panas matahari sebagai sumber pembangkit tenaga listrik rumahan.
2.)      Penggunaan material – material yang dapat di daur ulang, penggunaan konstruksi – konstruksi maupun bentuk fisik dan fasad bangunan tersebut yang dapat mendukung konsep green architecture. bangunan perkantoran yang menggunakan bentuk bangunan untuk menyatakan symbol green architecture.



  1. Beberapa contoh bangunan yang menggunkan konsep “GREEN ARCHITECTURE”.
1.) Healthy House ( Indonesia ).
1
Salah satu prinsip Green Architecture adalah working with Climate (bekerjasama dengan iklim). Wilayah Indonesia yang beriklim tropis dengan ciri-ciri udara panas-lembab, curah hujan rata-rata cukup tinggi dan sinar matahari yang bersinar sepanjang tahun, diperlukan penanganan khusus dalam merancang bangunan Healthy House pada daerah tropis. Perencanaan dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan ini akan memperoleh hasil yang maksimal. Tidak jarang kita temui bangunan dibuat tanpa memperhitungkan aspek iklim, misalnya dengan menggunakan dinding kaca keseluruhan, padahal pantulan sinar dan panas matahari menambah panas dalam ruangan
2.) Architecture Design Kindergarten School ( Croatia ) .
2
kindergarden school Berdiri diatas sebidang tanah dengan luas 2300 m2 .s Sekolah ini didirikan dengan sebuah konsep green architecture. Hal ini dapat dilihat dari bentuk dan pengaturan sirkulasinya. Sekolah ini banyak mengambil ruang terbuka untuk mengambil sirkulasi udara alami dan memanfaatkan kaca – kaca sebagai pencahayaan alami melaui sinar matahari.
3.) Gedung Perpustakaan Nasional Singapura 
3
Gedung ini menggunakan teknik-teknik kinerja konsumsi energi yang rendah (Ir Jimmy Priatman, M Arch. Perpustakaan Nasional Singapura dirancang sebagai state-of-the art nya perpustakaan untuk di iklimtropis.Dibuka untuk umum di tahun 2005Terdiri dari 16 lantai dengan luas tiap lantai kira-kira 58,000 m2 Kira-kira 6,000-8,000 m2 dirancang sebagai ‘green spaces.’ Kehadiran landskap yang teduh, telah mengurangi temperatur permukaan bangunan. Panas diteruskan ke udara bebas, sehingga meningkatkan kondisi termal dalam ruangan.
Green Plan & Green city
LATAR BELAKANG DAN KONSEP KOTA HIJAU
Saat ini dunia sedang dihadapkan pada permasalahan degradasi kondisi lingkungan. Pencemaran air, udara dan tanah tidak terelakkan lagi seiring perkembangan pembangunan di seluruh dunia terutama di perkotaan. Urbanisasi hal yang terjadi di sebagian besar kota-kota di dunia. Penyebabnya antara lain tidak seimbangnya pembangunan antara desa dan kota. Daya dukung kota-kota semakin lemah dalam memfasilitasi kebutuhan warga kota. Polusi udara dan pencemaran air serta tanah, pemenuhan kebutuhan warga untuk bisa hidup sehat, nyaman dan sejahtera, menjadi persoalan yang perlu dicari solusinya oleh semua pihak.
Seiring jalannya pembangunan, dalam upaya memberikan kenyaman dan lingkungan sehat bagi warga kota, Konsep Green City dapat menjadi solusi bagi pelaku pembangunan Kota Hijau (Green city), suatu jargon yang sedang dicanangkan di seluruh dunia agar masing-masing kota memberi kontribusi terhadap penurunan emisi karbon untuk penurunan pemanasan global.
Begitu pula dengan Indonesia, yang saat ini telah mencanangkan program kota hijau yang berbasiskan masyarakat (empowerment), melalui programnya yaitu P2KH (Program Pengembangan Kota Hijau) yang dalam implementasinya dimuat dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kabupaten dan Kota. P2KH ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas sekaligus responsif terhadap perubahan iklim yang saat ini sedang menjadi isu dunia tersebut.
Apa itu Kota Hijau? Kota hijau atau dengan kata lain yaitu Kota yang ramah lingkungan, dalam hal pengefektifan dan mengefisiensikan sumberdaya air dan energi, mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin adanya kesehatan lingkungan, dan mampu mensinergikan lingkungan alami dan buatan, yang berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang berpihak pada prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan (lingkungan, sosial, dan ekonomi).
Kota Hijau memiliki 8 atribut dalam hal prosesnya yaitu: Green Planning and Desain, Green Community (Peran serta aktif masyarakat), Green Building, Green Energy, Green Water, Green Transportation, Green Waste, Green Openspace.
Green City pada dasarnya adalah green way of thinking dimana perlu ada perubahan pola pikir manusia terhadap keberlanjutan lingkungan. Perubahan pola pikir akan mengarah pada perubahan kebiasaan masyarakat dan pada akhirnya akan menghasilkan perubahan budaya menjadi lebih ramah lingkungan.


Green City Sebagai Solusi Manajemen Pengembangan Kota di Indonesia
Pertumbuhan kota yang cepat terjadi di negara-negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Kota-kota besar di Indonesia seperti di Jakarta, Surabaya, Bandung, Makassar mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Perkembangan tersebut salah satunya dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk yang pesat pula, dan urbanisasi menjadi salah satu sebabnya. Peningkatan jumlah penduduk akan mengakibatkan kebutuhan lahan meningkat.
Pertumbuhan kota yang demikian tentu akan mengakibatkan degradasi lingkungan. Persebaran lahan terbangun yang sangat luas mengakibatkan inefisiensi jaringan transportasi yang berdampak pada meningkatnya polusi udara perkotaan, selain itu juga menimbulkan costly dan pemborosan. Lihat saja Jakarta yang merupakan ibukota Indonesia, kota tersebut sudah mengalami perkembangan yang terlalu besat sehingga mengalami “overload”, menjadikan kota tersebut sebagai kota yang tidak layak untuk ditinggali. Bahkan sempat muncul isu tentang pemindahan ibukota akibat ketidaklayakannya. Belum lagi kota-kota besar lain yang mulai berkembang seperti Surabaya, Bandung, dll.
Berdasarkan keadaan itu, dalam melakukan perencanaan kota dibutuhkan pendekatan konsep perencanaan yang berkelanjutan. Ada beberapa konsep pengembangan kota yang berkelanjutan, salah satunya adalah konsep Green City yang selaras dengan alam.
Green City dikenal sebagai kota ekologis. Kota yang secara ekologis juga dapat dikatakan kota yang sehat. Artinya adanya keseimbangan antara pembangunan dan perkembangan kota dengan kelestarian lingkungan. Kota sehat juga merupakan suatu kondisi dari suatu kota yang aman, nyaman, bersih, dan sehat untuk dihuni penduduknya dengan mengoptimalkan potensi sosial ekonomi masyarakat melalui pemberdayaan forum masyarakat, difasilitasi oleh sektor terkait dan sinkron dengan perencanaan kota. Untuk dapat mewujudkannya, diperlukan usaha dari setiap individu anggota masyarakat dan semua pihak terkait (stakeholders).
Konsep ini sesuai dengan pendekatan-pendekatan yang disampaikan Hill, Ebenezer Howard, Pattrick Geddes, Alexander, Lewis Mumford, dan Ian McHarg. Implikasi dari pendekatan-pendekatan yang disampaikan diatas adalah menghindari pembangunan kawasan yang tidak terbangun. Hal ini menekankan  pada kebutuhan terhadap rencana pengembangan kota dan kota-kota baru yang memperhatikan kondisi ekologis lokal dan meminimalkan dampak merugikan dari pengembangan kota, selanjutnya juga memastikan pengembangan kota yang dengan sendirinya menciptakan aset alami lokal. Terdapat 8 kriteria konsep Green City, antara lain :
  1. Pembangunan kota harus sesuai peraturan UU yang berlaku, seperti UU 24/2007: Penanggulangan Bencana (Kota hijau harus menjadi kota waspada bencana), UU 26/2007: Penataan Ruang, UU 32/2009: Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dll.
  2. Konsep Zero Waste (Pengolahan sampah terpadu, tidak ada yang terbuang).
  3. Konsep Zero Run-off (Semua air harus bisa diresapkan kembali ke dalam tanah, konsep ekodrainase).
  4. Infrastruktur Hijau (tersedia jalur pejalan kaki dan jalur sepeda).
  5. Transportasi Hijau (penggunaan transportasi massal, ramah lingkungan berbahan bakar terbarukan, mendorong penggunaan transportasi bukan kendaraan bermotor – berjalan kaki, bersepeda, delman/dokar/andong, becak.
  6. Ruang Terbuka Hijau seluas 30% dari luas kota (RTH Publik 20%, RTH Privat 10%)
  7. Bangunan Hijau
  8. Partisispasi Masyarakat (Komunitas Hijau)
Mengapa Konsep Green City Perlu Dipertimbangkan di Indonesia?
4
            Kota-kota besar di Indonesia perlu secara cermat mengatasi persoalan ledakan penduduk perkotaan akibat urbanisasi yang brutal, tidak tertahankan, apabila kita berharap bahwa kota-kota tersebut dapat menjadi layak huni di masa mendatang. Salah satunya adalah dengan pengendalian jumlah penduduk dan redistribusinya, serta peningkatan kualitas pelayanan publik.
Dengan konsep Green City krisis perkotaan dapat kita hindari, sebagaimana yang terjadi di kota-kota besar dan metropolitan yang telah mengalami obesitas perkotaan, apabila kita mampu menangani perkembangan kota-kota kecil dan menengah secara baik, antara lain dengan penyediaan ruang  terbuka hijau, pengembangan jalur sepeda dan pedestrian, pengembangan kota kompak, dan pengendalian penjalaran kawasan pinggiran.
5
Terdapat beberapa pendekatan Green City yang dapat diterapkan dalam manajemen pengembangan kota. Pertama adalah Smart Green City Planning. Pendekatan ini terdiri atas 5 konsep utama yaitu konsep kawasan berkeseimbangan ekologis yang bisa dilakukan dengan upaya penyeimbangan air, CO2, dan energi. Pendekatan kedua adalah konsep desa ekologis yang terdiri atas penentuan letak kawasan, arsitektur, dan transportasi dengan contoh penerapan antara lain: kesesuaian dengan topografi, koridor angin, sirkulasi air untuk mengontrol klimat mikro, efisiensi bahan bakar, serta transportasi umum. Ketiga, konsep kawasan perumahan berkoridor angin (wind corridor housing complex), dengan strategi pengurangan dampak pemanasan. Caranya, dengan pembangunan ruang terbuka hijau, pengontrolan sirkulasi udara, serta menciptakan kota hijau. Keempat, konsep kawasan pensirkulasian air (water circulating complex). Strategi yang dilakukan adalah daur ulang air hujan untuk menjadi air baku. Kelima, konsep taman tadah hujan (rain garden).
            Pendekatan kedua adalah Konsep CPULS (Continous Productive Urban LandscapeS. Konsep penghijauan kota ini merupakan pengembangan landscape yang menerus dalam hubungan urban dan rural serta merupakan landscape productive.
Pendekatan terakhir adalah Integrated Tropical City. Konsep ini cocok untuk kota yang memiliki iklim tropis seperti Indonesia. Konsep intinya adalah memiliki perhatian khusus pada aspek iklim, seperti perlindungan terhadap cuaca, penghutanan kota dengan memperbanyak vegetasi untuk mengurangi Urban Heat Island. Bukan hal yang tidak mungkin apabila Indonesia menerapkannya seperti kota-kota berkonsep khusus lainnya (Abu Dhabi dengan Urban Utopia nya atau Tianjin dengan Eco-city nya), mengingat Indonesia yang beriklim tropis. Berikut Gambar Kerangkat Terbentuknya Konsep Integrated Tropical City:
Sumber: Analisa dalam Presentasi Integrated Tropical City pada UFP #3, 8 Mei 2010 (Jogarsitek.com)  
Kelebihan dari konsep Green City adalah dapat memenuhi kebutuhan keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di suatu kawasan, sehingga dapat mengurangi bahkan memecahkan masalah lingkungan, bencana alam, polusi udara rendah, bebas banjir, rendah kebisingan dan permasalahan lingkugan lainnya.
Namun disamping kelebihannya, konsep ini memiliki kelemahan juga. Penerapannya pada masing-masing kawasan tidak dapat disamaratakan karena tiap-tiap daerah memerlukan kajian tersendiri. Setidaknya harus diketahui tentang karakteristik lokal, iklim makro, dan sebagainya. Misalnya, daerah pegunungan RTH difungsikan untuk menahan longsor dan erosi, di pantai untuk menghindari gelombang pasang, tsunami, di kota besar untuk menekan polusi udara, serta di perumahan, difungsikan meredam kebisingan. Jadi RTH di masing-masing kota memiliki fungsi ekologis yang berbeda. Disamping itu, penerapannya saat ini kebanyakan pelaksanaan penghijauannya tidak terkonseptual, sehingga menimbulkan citra penghijauan asal jadi tanpa melihat siapa yang dapat mengambil manfaat positif dari penghijauan.
Bisakah Indonesia menggunakannya sebagai solusi dari permasalahan perkembangan kotanya? Kembali kita lihat masyarakat dan pemerintah Indonesia, karena pertanyaan tersebut sama dengan “sudah siapkah mereka bersikap tegas dalam penerapannya?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar