Green Architecture
1.Pengertian.
Konsep ‘green architecture’ atau arsitektur hijau menjadi topik yang
menarik saat ini, salah satunya karena kebutuhan untuk memberdayakan
potensi site dan menghemat sumber daya alam akibat menipisnya sumber
energi tak terbarukan. Berbagai pemikiran dan interpretasi arsitek
bermunculuan secara berbeda-beda, yang masing-masing diakibatkan oleh
persinggungan dengan kondisi profesi yang mereka hadapi. Green
arsitektur ialah
”sebuah konsep arsitektur yang berusaha meminimalkan
pengaruh buruk terhadap lingkungan alam maupun manusia dan menghasilkan
tempat hidup yang lebih baik dan lebih sehat, yang dilakukan dengan
cara memanfaatkan sumber energi dan sumber daya alam secara efisien dan
optimal. Konsep arsitektur ini lebih bertanggung jawab terhadap
lingkungan, memiliki tingkat keselarasan yang tinggi antara strukturnya
dengan lingkungan, dan penggunaan sistem utilitas yang sangat
baik. Green architecture dipercaya sebagai desain yang baik dan
bertanggung jawab, dan diharapkan digunakan di masa kini dan masa yang
akan datang.
Dalam jangka panjang, biaya lingkungan sama dengan biaya sosial,
manfaat lingkungan sama juga dengan manfaat sosial. Persoalan energi dan
lingkungan merupakan kepentingan profesional bagi arsitek yang
sasarannya adalah untuk meningkatkan kualitas hidup.
2.Prinsip – prinsip pada green architecture
PRINSIP-PRINSIP GREEN ARCHITECTURE :
- Hemat energi / Conserving energy : Pengoperasian bangunan harus
meminimalkan penggunaan bahan bakar atau energi listrik ( sebisa mungkin
memaksimalkan energi alam sekitar lokasi bangunan ).
- Memperhatikan kondisi iklim / Working with climate : Mendisain
bagunan harus berdasarkan iklim yang berlaku di lokasi tapak kita, dan
sumber energi yang ada.
- Minimizing new resources : mendisain dengan mengoptimalkan kebutuhan
sumberdaya alam yang baru, agar sumberdaya tersebut tidak habis dan
dapat digunakan di masa mendatang /
Penggunaan material bangunan yang tidak berbahaya bagi ekosistem dan sumber daya alam.
- Tidak berdampak negative bagi kesehatan dan kenyamanan penghuni
bangunan tersebut / Respect for site : Bangunan yang akan dibangun,
nantinya jangan sampai merusak kondisi tapak aslinya, sehingga jika
nanti bangunan itu sudah tidak terpakai, tapak aslinya masih ada dan
tidak berubah.( tidak merusak lingkungan yang ada ).
- Merespon keadaan tapak dari bangunan / Respect for user : Dalam
merancang bangunan harus memperhatikan semua pengguna bangunan dan
memenuhi semua kebutuhannya.
- Menetapkan seluruh prinsip – prinsip green architecture secara
keseluruhan / Holism : Ketentuan diatas tidak baku, artinya dapat kita
pergunakan sesuai kebutuhan bangunan kita.
3.Sifat – sifat pada bangunan berkonsep green architecture.
Green architecture (arsitekture hijau) mulai tumbuh sejalan dengan
kesadaran dari para arsitek akan keterbatasan alam dalam menyuplai
material yang mulai menipis.Alasan lain digunakannya arsitektur hijau
adalah untuk memaksimalkan potensi site.
Penggunaan material-material yang bisa didaur-ulang juga mendukung
konsep arsitektur hijau, sehingga penggunaan material dapat dihemat.
Green’ dapat diinterpretasikan sebagai sustainable (berkelanjutan),
earthfriendly (ramah lingkungan), dan high performance building
(bangunan dengan performa sangat baik).
A.Sustainable ( Berkelanjutan ).
Yang berarti bangunan green architecture tetap bertahan dan berfungsi
seiring zaman, konsisten terhadap konsepnya yang menyatu dengan alam
tanpa adanya perubahan – perubuhan yang signifikan tanpa merusak alam
sekitar.
- Earthfriendly ( Ramah lingkungan ).
Suatu bangunan belum bisa dianggap sebagai bangunan berkonsep green
architecture apabila bangunan tersebut tidak bersifat ramah lingkungan.
Maksud tidak bersifat ramah terhadap lingkungan disini tidak hanya dalam
perusakkan terhadap lingkungan. Tetapi juga menyangkut masalah
pemakaian
energi.Oleh karena itu
bangunan berkonsep green architecture mempunyai sifat ramah terhadap
lingkungan sekitar, energi dan aspek – aspek pendukung lainnya.
- High performance building.
Bangunan berkonsep green architecture mempunyai satu sifat yang tidak
kalah pentingnya dengan sifat – sifat lainnya. Sifat ini adalah
“High performance building”.
Mengapa pada bangunan green architecture harus mempunyai sifat ini?.
Salah satu fungsinya ialah untuk meminimaliskan penggunaan energi dengan
memenfaatkan energi yang berasal dari alam ( Enrgy of nature ) dan
dengan dipadukan dengan teknologi tinggi ( High technology performance
). Contohnya :
1). Penggunaan panel surya ( Solar cell ) untuk memanfaatkan
energi panas matahari sebagai sumber pembangkit tenaga listrik rumahan.
2.) Penggunaan material – material yang dapat di daur ulang,
penggunaan konstruksi – konstruksi maupun bentuk fisik dan fasad
bangunan tersebut yang dapat mendukung konsep green architecture.
bangunan perkantoran yang menggunakan bentuk bangunan untuk menyatakan
symbol green architecture.
- Beberapa contoh bangunan yang menggunkan konsep “GREEN ARCHITECTURE”.
1.) Healthy House ( Indonesia ).
Salah satu prinsip Green Architecture adalah working with Climate
(bekerjasama dengan iklim). Wilayah Indonesia yang beriklim tropis
dengan ciri-ciri udara panas-lembab, curah hujan rata-rata cukup tinggi
dan sinar matahari yang bersinar sepanjang tahun, diperlukan penanganan
khusus dalam merancang bangunan Healthy House pada daerah tropis.
Perencanaan dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan ini akan
memperoleh hasil yang maksimal. Tidak jarang kita temui bangunan dibuat
tanpa memperhitungkan aspek iklim, misalnya dengan menggunakan dinding
kaca keseluruhan, padahal pantulan sinar dan panas matahari menambah
panas dalam ruangan
2.) Architecture Design Kindergarten School ( Croatia
) .
kindergarden school Berdiri diatas sebidang tanah dengan luas 2300 m
2 .s
Sekolah ini didirikan dengan sebuah konsep green architecture. Hal ini
dapat dilihat dari bentuk dan pengaturan sirkulasinya. Sekolah ini
banyak mengambil ruang terbuka untuk mengambil sirkulasi udara alami dan
memanfaatkan kaca – kaca sebagai pencahayaan alami melaui sinar
matahari.
3.) Gedung Perpustakaan Nasional Singapura
Gedung ini menggunakan teknik-teknik kinerja konsumsi energi yang
rendah (Ir Jimmy Priatman, M Arch. Perpustakaan Nasional Singapura
dirancang sebagai state-of-the art nya perpustakaan untuk di
iklimtropis.Dibuka untuk umum di tahun 2005Terdiri dari 16 lantai dengan
luas tiap lantai kira-kira 58,000 m2 Kira-kira 6,000-8,000 m2 dirancang
sebagai ‘green spaces.’ Kehadiran landskap yang teduh, telah mengurangi
temperatur permukaan bangunan. Panas diteruskan ke udara bebas,
sehingga meningkatkan kondisi termal dalam ruangan.
Green Plan & Green city
LATAR BELAKANG DAN KONSEP KOTA HIJAU
Saat ini dunia sedang dihadapkan pada permasalahan degradasi kondisi
lingkungan. Pencemaran air, udara dan tanah tidak terelakkan lagi
seiring perkembangan pembangunan di seluruh dunia terutama di perkotaan.
Urbanisasi hal yang terjadi di sebagian besar kota-kota di dunia.
Penyebabnya antara lain tidak seimbangnya pembangunan antara desa dan
kota. Daya dukung kota-kota semakin lemah dalam memfasilitasi kebutuhan
warga kota. Polusi udara dan pencemaran air serta tanah, pemenuhan
kebutuhan warga untuk bisa hidup sehat, nyaman dan sejahtera, menjadi
persoalan yang perlu dicari solusinya oleh semua pihak.
Seiring jalannya pembangunan, dalam upaya memberikan kenyaman dan
lingkungan sehat bagi warga kota, Konsep Green City dapat menjadi solusi
bagi pelaku pembangunan Kota Hijau (Green city), suatu jargon yang
sedang dicanangkan di seluruh dunia agar masing-masing kota memberi
kontribusi terhadap penurunan emisi karbon untuk penurunan pemanasan
global.
Begitu pula dengan Indonesia, yang saat ini telah mencanangkan
program kota hijau yang berbasiskan masyarakat (empowerment), melalui
programnya yaitu P2KH (Program Pengembangan Kota Hijau) yang dalam
implementasinya dimuat dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kabupaten
dan Kota. P2KH ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas sekaligus
responsif terhadap perubahan iklim yang saat ini sedang menjadi isu
dunia tersebut.
Apa itu Kota Hijau? Kota hijau atau dengan kata lain yaitu Kota yang
ramah lingkungan, dalam hal pengefektifan dan mengefisiensikan
sumberdaya air dan energi, mengurangi limbah, menerapkan sistem
transportasi terpadu, menjamin adanya kesehatan lingkungan, dan mampu
mensinergikan lingkungan alami dan buatan, yang berdasarkan perencanaan
dan perancangan kota yang berpihak pada prinsip-prinsip pembangunan yang
berkelanjutan (lingkungan, sosial, dan ekonomi).
Kota Hijau memiliki 8 atribut dalam hal prosesnya yaitu: Green
Planning and Desain, Green Community (Peran serta aktif masyarakat),
Green Building, Green Energy, Green Water, Green Transportation, Green
Waste, Green Openspace.
Green City pada dasarnya adalah green way of thinking dimana perlu
ada perubahan pola pikir manusia terhadap keberlanjutan lingkungan.
Perubahan pola pikir akan mengarah pada perubahan kebiasaan masyarakat
dan pada akhirnya akan menghasilkan perubahan budaya menjadi lebih ramah
lingkungan.
Green City Sebagai Solusi Manajemen Pengembangan Kota di Indonesia
Pertumbuhan kota yang cepat terjadi di negara-negara berkembang,
salah satunya di Indonesia. Kota-kota besar di Indonesia seperti di
Jakarta, Surabaya, Bandung, Makassar mengalami pertumbuhan yang sangat
pesat. Perkembangan tersebut salah satunya dipengaruhi oleh pertumbuhan
penduduk yang pesat pula, dan urbanisasi menjadi salah satu sebabnya.
Peningkatan jumlah penduduk akan mengakibatkan kebutuhan lahan
meningkat.
Pertumbuhan kota yang demikian tentu akan mengakibatkan degradasi
lingkungan. Persebaran lahan terbangun yang sangat luas mengakibatkan
inefisiensi jaringan transportasi yang berdampak pada meningkatnya
polusi udara perkotaan, selain itu juga menimbulkan
costly dan
pemborosan. Lihat saja Jakarta yang merupakan ibukota Indonesia, kota
tersebut sudah mengalami perkembangan yang terlalu besat sehingga
mengalami “overload”, menjadikan kota tersebut sebagai kota yang tidak
layak untuk ditinggali. Bahkan sempat muncul isu tentang pemindahan
ibukota akibat ketidaklayakannya. Belum lagi kota-kota besar lain yang
mulai berkembang seperti Surabaya, Bandung, dll.
Berdasarkan keadaan itu, dalam melakukan perencanaan kota dibutuhkan
pendekatan konsep perencanaan yang berkelanjutan. Ada beberapa konsep
pengembangan kota yang berkelanjutan, salah satunya adalah konsep
Green City yang selaras dengan alam.
Green City dikenal sebagai kota ekologis. Kota yang secara
ekologis juga dapat dikatakan kota yang sehat. Artinya adanya
keseimbangan antara pembangunan dan perkembangan kota dengan kelestarian
lingkungan. Kota sehat juga merupakan suatu kondisi dari suatu kota
yang aman, nyaman, bersih, dan sehat untuk dihuni penduduknya dengan
mengoptimalkan potensi sosial ekonomi masyarakat melalui pemberdayaan
forum masyarakat, difasilitasi oleh sektor terkait dan sinkron dengan
perencanaan kota. Untuk dapat mewujudkannya, diperlukan usaha dari
setiap individu anggota masyarakat dan semua pihak terkait
(stakeholders).
Konsep ini sesuai dengan pendekatan-pendekatan yang disampaikan Hill,
Ebenezer Howard, Pattrick Geddes, Alexander, Lewis Mumford, dan Ian
McHarg. Implikasi dari pendekatan-pendekatan yang disampaikan diatas
adalah menghindari pembangunan kawasan yang tidak terbangun. Hal ini
menekankan pada kebutuhan terhadap rencana pengembangan kota dan
kota-kota baru yang memperhatikan kondisi ekologis lokal dan
meminimalkan dampak merugikan dari pengembangan kota, selanjutnya juga
memastikan pengembangan kota yang dengan sendirinya menciptakan aset
alami lokal. Terdapat 8 kriteria konsep Green City, antara lain :
- Pembangunan kota harus sesuai peraturan UU yang berlaku, seperti UU
24/2007: Penanggulangan Bencana (Kota hijau harus menjadi kota waspada
bencana), UU 26/2007: Penataan Ruang, UU 32/2009: Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, dll.
- Konsep Zero Waste (Pengolahan sampah terpadu, tidak ada yang terbuang).
- Konsep Zero Run-off (Semua air harus bisa diresapkan kembali ke dalam tanah, konsep ekodrainase).
- Infrastruktur Hijau (tersedia jalur pejalan kaki dan jalur sepeda).
- Transportasi Hijau (penggunaan transportasi massal, ramah lingkungan
berbahan bakar terbarukan, mendorong penggunaan transportasi bukan
kendaraan bermotor – berjalan kaki, bersepeda, delman/dokar/andong,
becak.
- Ruang Terbuka Hijau seluas 30% dari luas kota (RTH Publik 20%, RTH Privat 10%)
- Bangunan Hijau
- Partisispasi Masyarakat (Komunitas Hijau)
Mengapa Konsep Green City Perlu Dipertimbangkan di Indonesia?
Kota-kota besar di Indonesia perlu secara cermat
mengatasi persoalan ledakan penduduk perkotaan akibat urbanisasi yang
brutal, tidak tertahankan, apabila kita berharap bahwa kota-kota
tersebut dapat menjadi layak huni di masa mendatang. Salah satunya
adalah dengan pengendalian jumlah penduduk dan redistribusinya, serta
peningkatan kualitas pelayanan publik.
Dengan konsep
Green City krisis perkotaan dapat kita
hindari, sebagaimana yang terjadi di kota-kota besar dan metropolitan
yang telah mengalami obesitas perkotaan, apabila kita mampu menangani
perkembangan kota-kota kecil dan menengah secara baik, antara lain
dengan penyediaan ruang terbuka hijau, pengembangan jalur sepeda dan
pedestrian, pengembangan kota kompak, dan pengendalian penjalaran
kawasan pinggiran.
Terdapat beberapa pendekatan
Green City yang dapat diterapkan dalam manajemen pengembangan kota. Pertama adalah
Smart Green City Planning.
Pendekatan ini terdiri atas 5 konsep utama yaitu konsep kawasan
berkeseimbangan ekologis yang bisa dilakukan dengan upaya penyeimbangan
air, CO2, dan energi. Pendekatan kedua adalah konsep desa ekologis yang
terdiri atas penentuan letak kawasan, arsitektur, dan transportasi
dengan contoh penerapan antara lain: kesesuaian dengan topografi,
koridor angin, sirkulasi air untuk mengontrol klimat mikro, efisiensi
bahan bakar, serta transportasi umum. Ketiga, konsep kawasan perumahan
berkoridor angin (
wind corridor housing complex), dengan
strategi pengurangan dampak pemanasan. Caranya, dengan pembangunan ruang
terbuka hijau, pengontrolan sirkulasi udara, serta menciptakan kota
hijau. Keempat, konsep kawasan pensirkulasian air (
water circulating complex). Strategi yang dilakukan adalah daur ulang air hujan untuk menjadi air baku. Kelima, konsep taman tadah hujan (
rain garden).
Pendekatan kedua adalah
Konsep CPULS (Continous Productive Urban LandscapeS.
Konsep penghijauan kota ini merupakan pengembangan landscape yang
menerus dalam hubungan urban dan rural serta merupakan landscape
productive.
Pendekatan terakhir adalah
Integrated Tropical City.
Konsep ini cocok untuk kota yang memiliki iklim tropis seperti
Indonesia. Konsep intinya adalah memiliki perhatian khusus pada aspek
iklim, seperti perlindungan terhadap cuaca, penghutanan kota dengan
memperbanyak vegetasi untuk mengurangi
Urban Heat Island. Bukan hal yang tidak mungkin apabila Indonesia menerapkannya seperti kota-kota berkonsep khusus lainnya (Abu Dhabi dengan
Urban Utopia nya atau Tianjin dengan
Eco-city nya), mengingat Indonesia yang beriklim tropis. Berikut Gambar Kerangkat Terbentuknya Konsep Integrated Tropical City:
Sumber: Analisa dalam Presentasi Integrated Tropical City pada UFP #3, 8 Mei 2010 (Jogarsitek.com)
Kelebihan dari konsep
Green City adalah dapat memenuhi
kebutuhan keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di suatu kawasan,
sehingga dapat mengurangi bahkan memecahkan masalah lingkungan, bencana
alam, polusi udara rendah, bebas banjir, rendah kebisingan dan
permasalahan lingkugan lainnya.
Namun disamping kelebihannya, konsep ini memiliki kelemahan juga.
Penerapannya pada masing-masing kawasan tidak dapat disamaratakan karena
tiap-tiap daerah memerlukan kajian tersendiri. Setidaknya harus
diketahui tentang karakteristik lokal, iklim makro, dan sebagainya.
Misalnya, daerah pegunungan RTH difungsikan untuk menahan longsor dan
erosi, di pantai untuk menghindari gelombang pasang, tsunami, di kota
besar untuk menekan polusi udara, serta di perumahan, difungsikan
meredam kebisingan. Jadi RTH di masing-masing kota memiliki fungsi
ekologis yang berbeda. Disamping itu, penerapannya saat ini kebanyakan
pelaksanaan penghijauannya tidak terkonseptual, sehingga menimbulkan
citra penghijauan asal jadi tanpa melihat siapa yang dapat mengambil
manfaat positif dari penghijauan.
Bisakah Indonesia menggunakannya sebagai solusi dari permasalahan
perkembangan kotanya? Kembali kita lihat masyarakat dan pemerintah
Indonesia, karena pertanyaan tersebut sama dengan “sudah siapkah mereka
bersikap tegas dalam penerapannya?”